Iklan Baris :
Ingin Pasang Iklan, Klik disini - Ingin Koreksi, Klik Teks ini

NOSTALGIA Politik Partai BERKARYA dan PDI Perjuangan

CitraNews

Bertahun-tahun setelah Soeharto lengser, sebagian besar masyarakat Indonesia menilai The Smiling General sebagai presiden paling berhasil. Hasil survei Indo Barometer pada 15-22 April 2018 menyebutkan sebanyak 32,9 persen responden menilai Soeharto sebagai presiden paling berhasil. Persentase yang diperoleh Soeharto itu bahkan jauh lebih besar daripada yang didapat para presiden setelahnya.

Tentu, PKPB, Berkarya, dan segenap perindu Soeharto tidak memonopoli jualan nostalgia dalam ranah politik di Indonesia.

Stefan Eklof mengatakan dalam Power and Political Culture in Soeharto’s Indonesia (2003) bahwa pada Pemilu 1987, pendukung Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berbondong-bondong menampilkan gambar-gambar Sukarno dalam peraga kampanye mereka. Hal ini berhubungan dengan Megawati yang baru saja menjadi anggota PDI pada tahun itu. Dia direkrut karena garis keturunan sebagai putri proklamator Sukarno, yang dinilai mampu menarik pemilih.

Baca Juga :  30 RIBU Anakan KELOR Jadi Pemicu GRH

Eklof mencatat PDI merangkul para pemilih muda dalam kampanye. Namun, usia mereka terlalu muda untuk mampu mengingat kebijakan yang diterapkan Sukarno saat menjabat presiden. Yang jelas, PDI memajang wajah dan gestur Sukarno guna melawan sosok Soeharto.

“Partisipatif, egalitarian, dan nasionalisme sosialis yang direpresentasikan Sukarno dikontraskan dengan keeksklusifan politik, watak elitis dan konservatif Orde Baru,” sebut Eklof.

Pada Pemilu 1987, PDI meraih 10 persen suara nasional (40 kursi), dan 14 persen suara nasional (56 kursi) pada Pemilu 1992. Perolehan tersebut lebih banyak dari 8,05 persen suara nasional (29 kursi) pada Pemilu 1977 dan 6,66 persen suara nasional (24 kursi) pada Pemilu 1982.

Baca Juga :  GENCAR Menggelegar di Momentum SUMPAH PEMUDA

Karena dualisme kepemimpinan, Megawati mendirikan PDI Perjuangan pada 1999.

Pun di era Sukarno, nostalgia dalam bentuk yang lain muncul. Sebagian orang-orang tua yang sempat hidup nyaman selama pemerintahan kolonial Hindia Belanda merasa sulit hidup di zaman Jepang dan Indonesia merdeka. Mereka, khususnya para priyayi, merindukan zaman normal yang mereka ingat sebagai masa ketika segala sesuatu berjalan normal jika dibandingkan dengan kegalauan politik yang terjadi berturut-turut sejak 1942.

Baca Juga :  RAPIMWIL Partai Berkarya NTT Hadirkan SEKJEN Budi Santoso

Apabila zaman normal berjaya, sebagian dari mereka berharap bisa menjadi Binnenland Bestuur alias pegawai negeri Belanda, pekerja perusahaan swasta, tukang kebun, atau sekadar mendapatkan pekerjaan kembali.

Tapi zaman normal itu tak pernah terwujud. Belanda, yang ingin kembali menguasai Indonesia, akhirnya mengakui kedaulatan bekas jajahannya pada 1949.

Selama era yang disebut masa revolusi tersebut, Indonesia dipimpin Presiden Soekarno. Dia menjabat presiden hingga Soeharto menggantikannya pada 1967. +++ tim cnc/tiro.id