Iklan Baris :
Ingin Pasang Iklan, Klik disini - Ingin Koreksi, Klik Teks ini

PANCASILA Lahir 1 Juni 1945, Fiksi atau Fakta?

CitraNews

Naskah itu baru kembali ke tangan pemerintah atas inisiatif BM Diah sendiri yang mengembalikannya pada 1992. Artinya, butuh 47 tahun bagi negara ini untuk dapat memiliki dokumen luar biasa penting bernama proklamasi. Bahkan dokumen sepenting itu pun nyaris setengah abad lamanya disimpan oleh perorangan, bukan oleh negara.

Karena serangan Belanda, naskah proklamasi versi ketikan pun pun sempat menghilang dari tangan negara. Atas usaha Adam Malik, naskah proklamasi versi ketikan diserahkan kepada Yuliarso Surowidjojo untuk diamankan dan selanjutnya disimpan oleh sang istri, Soejati. Barulah pada awal 1960-an naskah itu diserahkan kepada pemerintah RI.

Mengherankan dokumen-dokumen sepenting itu tersimpan sedemikian lama di tangan perseorangan, betapa pun barangkali maksud sang penyimpan awalnya baik. Betapa memalukannya jika naskah proklamasi itu sampai jatuh ke tangan Belanda. Apalagi salinan notulensi sidang BPUPKI-PPKI pun (salah satunya) sudah dirampas oleh Belanda.

Baca Juga :  Dari SOPIA hingga Mesin VNS, Begini Penjelasan NAZIR Abdullah

Belum lama ini, di bulan Oktober 2016, arsip hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta soal kasus pembunuhan aktivis HAM Munir pun juga dinyatakan hilang. Padahal dokumen yang semula di Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg) itu sudah diberikan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Barulah kemarin, melalui pernyataan pers di Cikeas, pihak SBY mau membuka diri bahwa pihaknya masih menyimpan satu salinan laporan TPF Munir.

Lagi-lagi muncul pertanyaan: mengapa laporan TPF Munir sampai raib dari penguasaan atau penyimpanan lembaga-lembaga negara? Mengapa SBY baru sekarang mengatakan bahwa ia memegang salinannya laporan akhir TPF Munir?

Baca Juga :  Dinas PK NTT Diminta Tayangkan Tabulasi Nilai UNBK

Sebagai bangsa yang lalai menjaga dokumen, tidak jelasnya nasib arsip tentang Munir itu tidaklah mengejutkan. Naskah Proklamasi saja pernah tidak diketahui rimbanya, begitu juga arsip kerja BPUPKI.

Bahkan Surat Perintah kebanggaan Orde Baru juga hilang. Ya, pernah pernah suatu masa ada arsip yang hilang dan justru menjadi dasar hukum bagi seorang jenderal untuk mengambil-alih kepemimpinan ini. Ia mengaku memperoleh mandat (dari Presiden) untuk mengambil-alih pemerintahan. Surat Perintah Sebelas Maret, atau Supersemar, sampai kini masih menjadi misteri yang mungkin akan abadi.

Dampak paling fatal dari raibnya dokumen-dokumen penting negara adalah sejarah menjadi sumir, kabur, atau lebih tepatnya lagi disumirkan, dikaburkan. Jika ada episode penting dalam perjalanan sejarah bangsa ternyata diselumit kekaburan, maka rezim penguasa akan mengisi kekaburan itu dengan mendesakkan versinya sendiri. Dan versi itu akan sukar dibantah karena dokumen terpentingnya tidak bisa terakses, sehingga evaluasi, kritik, atau bantahan akan sulit untuk meyakinkan.

Baca Juga :  Bertindak VISIONER Ala Kepala SMKN 5 Kupang

Dampaknya sama, sejarah gampang dibuat kabur, untuk kemudian dari sanalah versi rezim penguasa bisa didesakkan sebagai versi resmi. Hilangnya sebuah arsip, bukan tidak mungkin, membuat manipulasi sejarah menjadi gampang dilakukan. Jika manipulasi itu disebarkan melalui berbagai saluran resmi, dan menyusup ke dalam kurikulum pendidikan dan buku pelajaran, sebuah bangsa akhirnya hidup dalam sebuah kebohongan. +++ citra-news.com/dari berbagai sumber

 

Gambar : Mozaik Soekarno (doc. CNC/tirto.id)