“Karena dalam penilaian K-13 aspek yang mencakup di dalamnya adalah Sikap menyangkut spiritual dan social. Kemudian aspek pengetahuan dan ketrampilan/skill anak (siswa). Sedangkan peran guru hanya sebagai fasilitator atau membimbing siswa manakala menemui kendala dalam pembelajaran. Meski demikian tujuan pendidikan akan berhasil guna bila kerjasama antara semua pemangku kepentingan pendidikan di di dalamnya. Bersama-sama merasa sepenanggungan maka kita pasti bisa (Together We Can),”ungkapnya.
Gambar kiri Kepala SMPN 6 Nekamese, YULIANTI Pulungtana, S.Pd (kanan) pose bersama ERICH Lisnahan, M.Pd (kiri) dan ANDRIANI A. Ismau, S.Pd (tengah). Doc. foto CNC/martrhen radja.
Erich menambahkan, model pembelajaran di K-13 anak dilatih untuk berpikir kritis dan pro aktif dalam memecahkan persoalan yang ditemukan dalam bahan ajar yang diberikan guru.
“Menjadikan siswa pro aktif sudah tentu dukung dengan media pembelajaran yang mumpuni. Misalkan di sekolah perlu ada laboratorium IPA. Keberadaan laboratorium ini tentunya memberikan ruang bagi siswa untuk mempraktekan sendiri bahan ajar dari guru mata pelajaran IPA. Kendala atau persoalan yang dihadapi dicarikan solusinya secara peroranagn atau kelompok siswa. Guru hanya sebagai fasilitator saja,”terang Erich.
Meski guru hanya sebagai fasilitator, lanjut Erich, tapi perlu diingat bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini membuat anak (siswa) mampu menyelesaikan setiap tugas yang diberikan guru. Oleh karena itu guru harus lebih kreatif lagi. Dalam penerapan HOTS ini justru menuntut guru harus lebih kreatif terus berinovasi menciptakan hal-hal baru seiring dengan tututan jaman.
Dengan begitu maka siswa terus memacu diri untuk sanggup memecahkan persoalan sendiri. Walau pada akhirnya menghadapi materi pelajaran yang sangat sulit maka gurulah menjadi pelabuhan terakhir menyelesaikan masalah. Tapi anak harus diberikan ruang (porsi) pembelajaran aktif lebih besar daripada porsi guru.