Dia menjelaskan, tanah ulayat yang dimiliki keluarga besar Limau sebelum tahun 1930-an. Bahwa luasan tanah lebih kurang 50-an hektar ini adalah warisan yang sudah turun temurun sebelum Indonesia merdeka.
“Ini menurut cerita ayah saya bernama Lakaleli. Ayah saya juga tentunya dapat cerita dari kakek moyang dengan bukti batas (pilar, red) hanya berupa batu atau pohon kayu. Itu artinya tanah kami ini ada sebelum ada ini Negara Republik Indonesia”, tuturnya.
Kemudian tahun sekitar tahun 1961, lanjut Eklopas, ada bukti PBB (pajak bumi dan bangunan). Tapi di tahub 1990-an ada Prona (proyek nasional) namun tidak bisa diterbitkan sertifikat. Ini alasan apa sehingga tanah kami tidak bisa terbit sertifikat?
Lalu pada tahun 2016/2017 ada sertifikat gratis dari pemerintah. Menurut petugas pertanahan bahwa pengukuran tanah warga juga dilakukan foto udara melalui satelit.
“Nah dibilang Prona dan gratis. Tapi koq kami harus bayar sekitar satu juta. rupiah. Itupun ada warga yang terima sertifikat ada banyak warga yang tidak terima. Ini dasarnya apa”, tambah Luther Totibun.
Selanjutnya sekitar tahun 2018 tanah-tamah di wilayah RT 01 sampai RT 22 Kelurahan Naioni terkena Jalur Hijau oleh pihak Kehutanan.
Padahal khususnya kami di RT 22 RW 10 Kelurahan Naioni, jelas Totibun, kakek moyang kami menguasai tanah tersebut sebelum tahun 1930-an. Iya, total luasan tanah tersebut sekitar 538 hektar.
Bobby Jemput Masalah
Sosok Bobby Pakh terbilang unik dan langka bagi kebanyakan Notaris lainnya. Jika ada Notaris yang tunggu pengaduan warga di kantor, namun Bobby Pakh turun menyapa dan mengurai masalah warga hingga ke kampung-kampung.
Lebih dari itu setelah memetik pengalaman menangani masalah sengketa antarpihak, Bobby Pakh juga sudah mendulang hasil. Bahwa ada warga yang sudah diselamatkan dari kubangan pemutabalikkan fakta oleh pemerintahan negara.