Iklan Baris :
Ingin Pasang Iklan, Klik disini - Ingin Koreksi, Klik Teks ini
Hukrim  

POLISI Disebut LBH Pelaku Kekerasan Pers Terbanyak

Sisanya adalah perusakan perkakas liputan 9 kasus, ancaman 7 kasus, pemidanaan 2 kasus, dan intimidasi lisan serta intimidasi oleh pejabat publik, masing-masing 1 kasus.

Pelaku kekerasan terhadap jurnalis pada tahun ini didominasi oleh warga sipil yakni, sebanyak 21 kasus. Disusul orang tak dikenal 10 kasus, polisi 9 kasus, politisi 7 kasus, militer 7 kasus, aparat pemerintah daerah 6 kasus, pejabat pemerintah 4 kasus, ormas 3 kasus, pelajar dan mahasiswa 2 kasus, serta masing-masing 1 kasus oleh advokat, aparat pemerintah pusat, dan hakim.

Reja Hidayat, reporter Tirto, adalah salah satu yang jadi korban penganiayaan oleh warga sipil anggota Front Pembela Islam pada 30 November 2016. Reja ditampar bolak-balik saat hendak meliput persiapan Aksi 212 di markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat.

Baca Juga :  TERJERAT Kasus Korupsi NTT FAIR, YA dan DT, Cs Ditahan Kejati NTT

 Upaya Macet ke Meja Hijau

Satu-satunya kasus yang kini dibawa ke proses hukum adalah kekerasan yang dialami oleh Ghinan Salman. Dalam kasus pemukulan terhadap Ghinan, polisi sudah menetapkan satu tersangka, yakni Jumali. Sementara 9 PNS lain yang diduka pelaku masih berstatus saksi. Mereka adalah Abdul Halik, Abdul Latif, Aditya Farma, Bambang Hariadi, Hari Susanto, Ronald Francis, Sagitaurus, Samsul Bahri, dan Surya Alam.

Keputusan membawa kasus yang dialaminya ke ranah hukum dipikirkan masak-masak oleh Ghinan. Meski berkali-kali dibujuk oleh sejumlah orang menyelesaikan kasus secara “kekeluargaan”, Ghinan menolak.

“Saya ditelepon Kepala Dinas PU, ‘Sudah kita ngobrol sambil makan gule sama rawon.’ Tapi saya enggak mau. Kasus ini harus diproses hukum,” ujarnya.

Baca Juga :  UANG Rebeka RAIB 3 Miliar, Kuasa Hukum Jaquline Bicara NGAWUR

Bahkan semula redaksi Radar Madura menyarankan Ghinan untuk ambil jalan “damai”. “Tapi sekarang sudah mendukung, setelah jelas pelakunya,” tambahnya.

Ketua AJI Surabaya, Prasto Wardoyo, yang mendampingi kasus Ghinan, mengatakan bahwa membawa kasus kekerasan terhadap jurnalis ke ranah hukum bukan perkara gampang. Dalam kasus Ghinan, polisi semula hanya menggunakan pasal 352 KUHP tentang penganiayaan ringan, tidak menggunakan undang-undang pers.

“Padahal Ghinan saat dipukuli sedang melakukan tugasnya sebagai jurnalis. Dia menunggu kepala dinas untuk wawancara. Kami desak polisi pakai UU pers, setelah itu baru mereka pakai. Sebelumnya hanya pakai penganiayaan ringan,” ujar Prasto.

Baca Juga :  Membasuh NODA di Tanah ULAYAT Ala BOBBY PAKH

Meski sudah ditangani kepolisian, tetapi proses ke meja hijau pun lambat. Sejak dilaporkan pada 20 September 2016, hingga Mei 2017, berkas kasus ini belum dilimpahkan ke kejaksaan. Dari sepuluh pelaku pun hanya satu yang ditetapkan sebagai tersangka.

“Polisi lambat sekali,” kata Prasto. “Maret kemarin mereka baru konsultasi dengan Dewan Pers untuk penggunaan UU Pers, padahal peristiwanya terjadi tahun lalu. Ini tantangan kita ketika ada kasus kekerasan terhadap jurnalis.”

Cerita lain dialami oleh Sonny Misdianto, wartawan NET TV, yang dianiaya oleh tentara berseragam lengkap dari TNI AD Yonif 501 Raider Madiun, Oktober 2016. Human Rights Watch dalam laporannya, “Wartawan Indonesia dalam Ancaman.