Iklan Baris :
Ingin Pasang Iklan, Klik disini - Ingin Koreksi, Klik Teks ini
Hukrim  

POLISI Disebut LBH Pelaku Kekerasan Pers Terbanyak

Kekerasan ini bermula saat Misdianto merekam aksi brutal tentara yang memukuli seorang pengendara motor dalam atraksi yang menabrak seorang perempuan. Sama seperti Ghinan, Misdianto diminta menghapus rekaman. Tetapi ia menolak dan ia pun dipukul dan ditendang oleh anggota tentara.

Misdianto melaporkan kasus itu ke Polisi Militer. Namun, setelah laporan itu dibuat, beragam intimidasi menyerang keluarganya. Bahkan rumah ayahnya di Ponorogo disambangi oleh tentara, meminta ayah Misdianto untuk menunjukkan surat-surat identitas dan menanyakan hubungannya dengan Misdianto.

“Selama sepuluh hari, Misdianto dan keluarga menerima lebih dari 100 kali sambungan telepon dari beberapa perwira TNI AD. Tekanan ini akhirnya membuat Misdianto membatalkan tuntutannya dan menerima penyelesaian kasus ini secara “kekeluargaan”,” tulis Human Rights Watch. 

Menurut Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch yang menulis laporan tersebut, Misdianto menjadi “trauma” atas kekerasan tersebut. Harsono menolak halus ketika redaksi Tirto meminta nomor kontak Misdianto buat kami wawancarai. Harsono tak ingin Misdianto dan keluarganya terus-menerus dihantui ketakutan bila ada wartawan yang minta ia menceritakan kembali kasus kekerasan tersebut.

Baca Juga :  MENGURAI Benang KUSUT Pembelian MTN Bank NTT

Polisi menjadi pelaku dominan kekerasan terhadap wartawan. Selain itu, dalam penegakan hukum, polisi tidak bekerja secara maksimal. Banyak pelaku yang lolos termasuk dari institusi polisi.

Dalam kasus Misdianto, misalnya, saat ia hendak melapor ke polisi, pihak kepolisian justru memintanya untuk berdamai. Bahkan polisi menyodorkan amplop berisi uang sebagai ganti rugi. Namun amplop itu ditolak oleh Misdianto.

Baca Juga :  MEMALUKAN, Obed Naitboho GANTI Plat Mobnas DH 2 C

Begitupun dalam kasus Ghinan Salman. Polisi justru berupaya memberikan hukuman ringan kepada pelaku dengan menggunakan pasal 352 KUHP yang hanya 3 bulan tahanan. Padahal, jika menggunakan pasal 18 Undang-Undang Pers, hukuman penjara paling lama 2 tahun, serta denda maksimal Rp500 juta.

Karena alasan itu, AJI Indonesia menyatakan bahwa “polisi menjadi musuh utama kebebasan pers 2017”.

“Para personelnya terus terlibat di berbagai kasus kekerasan dan terus menjalankan praktik impunitas yang membuat para pelaku bebas dari pertanggungjawaban hukum,” ujar Iman D. Nugroho, ketua bidang advokasi AJI Indonesia.

Baca Juga :  Di Maumere Polisi Urus Dua Peristiwa Bacokan Dalam Sehari

Jika polisi terus saja lembek pada pelaku kekerasan terhadap jurnalis, dan ada banyak kasus yang menguap begitu saja, klaim Presiden Joko Widodo dalam perayaan Hari Kebebasan Pers Dunia bahwa “Indonesia adalah rumah dari jurnalisme paling bebas dan paling bergairah di seluruh dunia” sangat patut dipertanyakan, kata Iman. +++ citra-news.com/tirto.id

Gambar : Sejumlah jurnalis melakukan aksi solidaritas menolak kekerasan terhadap wartawan di depan kantor Mapolresta Bogor Kota, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Foto : Doc. CNC/ Yulius Satria Wijaya- Antara foto